
BATANG || Mitramabesnews.com — Ruang Komisi IV DPRD Kabupaten Batang berubah menjadi arena perdebatan pada Selasa, 11 November 2025. Kuasa hukum Mistono, pasien yang diduga menjadi korban malapraktik RSUD Kalisari Batang, datang menuntut kejelasan. Dihadapan para wakil rakyat, Direktur RSUD Kalisari dan Kepala Dinas Kesehatan duduk berhadapan, menyimak tudingan yang selama sepekan terakhir ramai menghiasi linimasa media sosial.
Kasus ini sebelumnya mencuat dan viral terkait dugaan malapraktek di RSUD Kalisari Batang. Mereka menduga RSUD Kalisari tidak transparan dalam tindakan medis, terutama pada pelepasan alat slang di tubuh Mistono yang diduga tanpa pemberitahuan kepada pihak keluarga. Publik Batang heboh, mempertanyakan prosedur kerja rumah sakit daerah yang selama ini menjadi rujukan warga.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Di forum audiensi, Sumarwan Sukmoaji, S.H.,CCLA.,CCD selaku kuasa hukum Mistono menegaskan dugaan pelanggaran serius: prinsip informed consent—landasan etik paling dasar dalam praktik kedokteran.
“Tidak ada penjelasan, kapan slang dalam tubuh Mistono dilepas pasca operasi. Keluarga baru tahu setelah kondisi pasien memburuk,” kata kuasa hukum itu, menahan geram. “Ini bukan sekadar kelalaian, tapi dugaan pelanggaran etik yang jelas.” ucap sukmoaji kepada awak media.
Pihak RSUD tak tinggal diam. Direktur RSUD Kalisari Batang, dr. Any Rusydiani membantah keras tuduhan tersebut dan menyebut semua prosedur yang dijalankan atas dasar pertimbangan medis. Namun pernyataannya memunculkan persoalan baru: durasi aman pemasangan slang itu ternyata menjadi perdebatan di kalangan medis sendiri.
“Satu tahun masih aman,” ujar Direktur RSUD, merujuk pada standar yang menurutnya berlaku.
Namun pernyataan ini langsung ditanggapi dengan data berbeda dari dokter salah satu RS di Kota Pekalongan, yang menurut kuasa hukum Mistono memberi penjelasan bahwa batas aman hanya dua bulan.
Dua pendapat yang berseberangan itu membuat audiensi berjalan panas. Di tengah perdebatan, Yusro—anak Mistono—berulang kali menegaskan bahwa persoalan ini tak bisa dibiarkan mengambang.
“Beda pendapat begini menunjukkan ada yang tidak beres. Kami butuh keterangan ahli yang independen,” kata Yusro.
Tofani Dwi Arieyanto selaku ketua Komisi IV yang memimpin audiensi akhirnya menyimpulkan bahwa perbedaan pandangan teknis itu memerlukan pemeriksaan lanjutan.
Ketua Komisi IV menegaskan DPRD akan memanggil ahli medis untuk memastikan ada atau tidaknya pelanggaran standar pelayanan.
“Kita tidak bisa berspekulasi. Fakta harus dibuka seterang-terangnya,” ujarnya.
Audiensi pun berakhir buntu. Tidak ada kesepakatan, tidak ada titik temu. Yang tersisa justru tanda tanya besar: apakah Mistono benar menjadi korban kelalaian medis, atau ada miskomunikasi yang melebar menjadi tuduhan?
Yang jelas, kasus ini telah terlanjur menggugah perhatian publik. Di jagat maya, nama RSUD Kalisari Batang kembali menjadi perbincangan. Banyak warganet mempertanyakan bagaimana sebuah tindakan medis bisa dilakukan tanpa penjelasan yang memadai kepada keluarga pasien.
Sementara DPRD bersiap melangkah ke tahap berikutnya, publik Batang menunggu: apakah penyelidikan lanjutan akan mengungkap fakta baru, atau kasus ini akan kembali tenggelam seperti banyak polemik kesehatan lainnya?
Kasus Mistono kini bukan lagi sekadar
urusan medis. Ia telah menjadi simbol tuntutan transparansi dan akuntabilitas dalam pelayanan kesehatan daerah.
(Red)






