MITRAMABESNEWS.COM – Kejahatan yang mengguncang nilai moral dan agama kembali mencuat, menodai wajah pendidikan berbasis pesantren. KH Ahmad Labib Asrori, S.E., M.M., pimpinan Pondok Pesantren Irsyadul Mubtadi’ien di Tempuran, Kabupaten Magelang, menghadapi tuntutan 13 tahun penjara atas tindakan kekerasan seksual terhadap empat santriwatinya. Senen (13/1/2025).
Sidang tertutup digelar di Pengadilan Negeri Kota Mungkid, diwarnai aksi protes dari masyarakat yang menuntut keadilan sejati.
Dalam tuntutan yang dibacakan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Aditya Otavian, S.H., dan Naufal Ammanullah, S.H., terdakwa didakwa melakukan kekerasan seksual secara berulang dengan memanfaatkan kedudukan dan kepercayaan sebagai pendidik. Tindakan keji ini dilakukan terhadap anak-anak yang seharusnya dibimbing menuju akhlak mulia.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
“Ini adalah pengkhianatan terhadap moral, agama, dan pendidikan. Perbuatan terdakwa tidak hanya melukai tubuh korban tetapi juga menghancurkan masa depan mereka,” tegas JPU dalam persidangan.
Selain hukuman penjara, terdakwa juga diwajibkan membayar restitusi lebih dari Rp290 juta kepada para korban. Namun, keluarga korban menganggap restitusi hanya formalitas yang tidak mampu menghapus trauma mendalam yang dialami.
Aksi protes dari Gerakan Pemuda Ka’bah (GPK) Aliansi Tepi Barat mewarnai jalannya persidangan. Dipimpin langsung oleh Pujiyanto alias Yanto Pethuk’s, sekitar 150 anggota GPK mendesak pengadilan untuk menjatuhkan vonis maksimal kepada terdakwa.
“Jika hukum gagal memberikan keadilan, masyarakat akan menilai bahwa hukum hanya berpihak pada mereka yang memiliki kekuasaan. Terdakwa bukan hanya mencoreng agama, tapi juga menghancurkan kepercayaan publik terhadap pendidikan berbasis agama,” ujar Yanto dengan tegas.
Barang bukti berupa pakaian korban jilbab, rok, bra, hingga kartu tanda santri menjadi saksi bisu kejahatan terdakwa. Fakta bahwa perbuatan ini dilakukan secara berulang terhadap beberapa korban semakin menegaskan bahwa terdakwa adalah predator seksual yang bersembunyi di balik jubah religius.

Ahmad Sholihudin, S.H., kuasa hukum korban, menyebut tuntutan 13 tahun sudah sesuai, namun menuntut vonis maksimal dari hakim.
“Trauma para korban tidak akan pernah bisa dihapuskan. Hukuman berat adalah satu-satunya cara memberikan efek jera dan keadilan bagi korban,” tegasnya.
Luka yang Belum Tertutup
Kasus ini membuka luka lama dan memunculkan ketakutan baru. Yanto Pethuk’s mengungkapkan adanya dugaan kasus serupa di kecamatan yang sama.
“Jika ini tidak dijadikan peringatan keras, predator lain akan merasa aman dan korban baru akan terus bermunculan. Kami akan terus mengawal kasus ini hingga keadilan benar-benar ditegakkan,” tambahnya.
Masyarakat kini menanti apakah vonis hakim akan mencerminkan keadilan atau tunduk pada status sosial pelaku. Kasus ini bukan hanya tentang pelanggaran hukum, tetapi juga ujian terhadap keberpihakan hukum Indonesia terhadap korban yang lemah.
“Keadilan harus menjadi pelindung bagi mereka yang telah dirugikan, bukan alat bagi mereka yang berkuasa. Vonis ini adalah ujian apakah hukum kita berpihak pada kebenaran atau hanya sebuah ilusi,” tutup Yanto Pethuk’s.