Mitramabesnews.com
Dalam filosofi Stoikisme, penderitaan bukan musuh yang harus dilawan, melainkan guru yang harus disimak.
Epictetus berkata,
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
“Kesulitan memperlihatkan karakter sejati.”
Dan justru di titik terlemah,manusia akan diuji bukan untuk dihancurkan,melainkan untuk disadarkan siapa dirinya yang sebenarnya.
Saat kenyamanan hilang,topeng sosial mulai gugur.
Kita tak lagi bisa berpura-pura kuat,bijak,atau bahagia.
Karena Yang tersisa adalah diri yang rapuh, namun jujur.
Inilah momen penting dalam kehidupan seorang Stoikesme,saat jiwa menghadap dirinya sendiri.
Penderitaan menjadi semacam cermin, yang menampilkan segala luka lama, ketakutan yang tertimbun dalam diri dan keyakinan yang belum pernah diuji.
Namun dari sanalah pertumbuhan dimulai,Bukan dengan menolak penderitaan,melainkan dengan memeluknya sebagai bagian dari latihan dan pengalaman dalam hidup.
Stoikisme tidak mengajak kita menghindar dari rasa sakit, tapi untuk melihatnya sebagai bagian dari jalan menuju kekuatan batin yang hakiki,Seperti baja yang ditempa dalam api, Hingga jiwa manusia ditempa dalam penderitaan.
Dostoevsky menulis bahwa dari reruntuhan batin, bahwa manusia bisa menemukan makna yang lebih dalam.
Stoikisme pun percaya bahwa ketenangan sejati,hanya lahir dari keberanian menghadapi kenyataan hidup,bukan lari dari kenyataan nya.
Karena itu, penderitaan bukan akhir dari hidup melainkan awal kehidupan.Bukan hukuman, melainkan proses penyucian,
Dan hanya mereka yang berani melihat luka mereka,yang benar-benar tumbuh menjadi pribadi yang kuat dan bijak.
Itulah kehidupan yang dianggap sebenarnya, Menjadi pembelajaran menjadi diri yang sebenarnya diri!!!
(Sumber W Sigli)