Mitramabesnews.com, Toboali 25 April 2025, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Bangka Selatan menggelar rapat dengar pendapat (RDP) dengan masyarakat Desa Bencah pada Selasa (22/4/2025). Rapat ini menjadi ajang penting untuk membahas keresahan warga atas praktik jual beli tanah negara di Desa Bencah dan Pergam, Jeriji, serta pemanfaatan Daerah Aliran Sungai (DAS) dan kawasan Lelab Bikang yang kini berubah menjadi ladang-ladang sawit ilegal.
RDP yang berlangsung di Gedung DPRD Bangka Selatan ini dihadiri oleh Ketua DPRD Bangka Selatan, Erwin Asmadi, jajaran Wakil Ketua dan anggota DPRD, Pj Sekda Bangka Selatan Hepi Nuranda, Kepala BPN Abdul Rahman Irianto, perwakilan Balai Wilayah Sungai (BWS) Bangka Belitung, Ketua HKTI Bangka Selatan, perwakilan Aliansi Masyarakat dan Petani Menggugat Bangka Selatan (AMDPMS), LBH Pengawal Keadilan Bangka Belitung Bersatu (PKBBB), kepala dinas terkait, camat, kepala desa Bencah,Pergam, dan Rias, serta sejumlah tokoh masyarakat.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Ketua DPRD, Erwin Asmadi, menegaskan bahwa pihaknya serius menyikapi keresahan masyarakat. “Kami telah mencapai kesepakatan untuk membentuk tim gabungan yang terdiri dari DPRD, pemerintah daerah, kejaksaan, kepolisian, Kodim, serta perwakilan masyarakat,” ungkapnya. Tim ini akan segera bekerja, dengan langkah awal berupa identifikasi pihak-pihak yang membuka lahan sawit tanpa izin resmi.
Erwin juga mengungkapkan bahwa pemerintah daerah belum dapat memastikan siapa pemilik kebun sawit di wilayah tersebut. “Dinas PTSP menyatakan tidak pernah mengeluarkan izin untuk kebun sawit di sana. Artinya, ada kegiatan perkebunan yang tidak diketahui asal-usulnya secara legal,” tegasnya.
Sementara itu, Ketua AMDPMS, Hidayat Tukijan, menyuarakan kekhawatiran mendalam. Ia menegaskan bahwa ekspansi perkebunan sawit ke kawasan DAS Metukul, Jeriji, dan Pergam mengancam kelestarian sumber daya air serta potensi Desa Rias sebagai lumbung pangan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. “Jika resapan air habis digarap oleh perusahaan sawit, maka rencana menjadikan Rias sebagai sentra pangan akan gagal total,” kata Hidayat.
Ia menyebutkan bahwa sekitar 1.500 hektar lahan sudah digarap dari total 3.000 hektar di wilayah Rias. Jika ini terus dibiarkan, maka kedaulatan pangan daerah akan dikorbankan demi kepentingan sepihak. Hidayat meminta agar semua kegiatan perusahaan sawit tanpa izin segera dihentikan dan dibatalkan. Kepala BPN pun menyatakan bahwa hingga saat ini belum ada Hak Guna Usaha (HGU) yang terbit untuk lahan tersebut.
Pernyataan yang mengguncang forum juga disampaikan oleh seorang warga Desa Pergam. Dalam suara yang lantang dan penuh emosi, ia menyuarakan kenyataan pahit yang terjadi di lapangan:
“Di desa kami sekarang banyak OKB—orang kaya baru. Hampir setiap hari ada saja yang beli motor, bahkan mobil baru. Dari mana uangnya? Dari hasil jual beli tanah negara! Ini sangat miris. Kalau ini terus dibiarkan, konflik antar warga bisa pecah kapan saja. Ini bukan cuma pelanggaran hukum, tapi juga perampasan masa depan kami sebagai petani !”
Pernyataan ini mengundang keheningan sejenak di ruang sidang. Aura kegelisahan dan kemarahan masyarakat tampak tak terbendung. Lebih dari 50 orang hadir sebagai perwakilan petani dari Desa Rias, Gapoktan, Pergam, Bencah, hingga sebagian warga Jeriji, menunjukkan bahwa ini bukan sekadar permasalahan lokal, melainkan krisis struktural.
Mereka menuduh perusahaan sawit telah memperluas lahan melebihi batas, bahkan merambah hingga ke tepi Kolong Mentukul dan Yamin—wilayah yang seharusnya dilindungi sebagai ekosistem penyangga air.
Langkah DPRD membentuk tim gabungan menjadi harapan baru, meski jalan panjang penyelesaian masih di depan mata. Ketegasan, keberpihakan, dan keberanian untuk membongkar siapa mafia tanah di balik perkebunan sawit ilegal ini akan menjadi ujian bagi seluruh elemen pemerintah daerah. ( Red)