Menurut Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, fungsi desa adalah menyelenggarakan urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat, dan pembangunan desa. Desa memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat berdasarkan hak asal usul dan adat istiadatnya. Dijelaskan pula di dalam Undang-undang Desa memiliki kewenangan untuk menyelenggarakan pemerintahan desa, termasuk menyusun perencanaan pembangunan, mengelola keuangan desa, dan memberikan pelayanan kepada masyarakat, termasuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan pembangunan. Namun disinyalir yang terjadi di Pemdes Mekarsari berbanding terbalik dengan kaidah yang terkandung dalam UU tentang Desa.
Hal ini didapati saat awak media dan beberapa aktivis pemerhati Pemerintahan Desa yang tergabung dalam Lembaga Swadaya Masyarakat. Didapati infomasi Pemdes Mekarsari didalam mengambil keputusan tidak bermusyawarah terlebih dahulu dengan masyarakat atau petani. Seperti yang terjadi di lingkungan RW.02 Blok
Pilangsari dimana sudah 8 tahun lebih permasalahan banjir tak kunjung selesai apalagi saat curah hujan tinggi hingga air menggenangi area persawahan, yang mengakibatkan penurunan hasil panen bahkan cenderung gagal panen.
Yang membuat petani di Blok Kesepat terheran-heran adalah hadirnya alat berat (backhoe) secara tiba-tiba tanpa adanya sosialisasi terhadap pemilik sawah dan masyarakat setempat. Konon katanya alat berat tersebut akan digunakan untuk normalisasi saluran air pembuangan, namun baru bekerja empat hari alat berat tersebut tak kunjung datang lagi sehingga mengakibatkan jembatan menuju persawahan terputus dan sudah dua mingguan belum ada tanda- tanda diperbaiki.

Awak media, berkesempatan menjumpai para petani di Blok Kesepat, pihaknya merasa keberatan bila saluran ditambah kedalamnya. “Permasalahannya bukan disitu, harusnya disamping saluran air diperdalam juga saluran berikutnya (didepan, red) diperlebar dan diperdalam, jangan yang diperdalam saluran yang di pinggir sawah saja, percuma saja saluran pinggir sawah diperdalam tapi saluran berikutnya yang melewati perkampungan masih dangkal dan sempit tetap saja air berbalik masuk sawah, yang lebih efektif dan bisa mengatasi luapan air dikala musim hujan seharusnya dibuatkan saluran pembuangan menuju sungai Belutak melewati tengah persawahan,” ungkap Udin didampingi Sakim, yang diamini oleh beberapa petani lainnya yang pada saat itu sedang rehat. Rabu (16/07/25).
Harusnya, ujar Jamhuri, dibuatkan saluran baru yang membentang di tengah sawah kalaupun ada permintaan ganti rugi dari pemilik sawah yang merasa lahannya dipakai untuk saluran baru tinggal dimusyawarahkan ada uang berapa dari petani Blok Kesepat, sisanya Pemdes yang menyelesaikan kekurangannya. “Dasarnya sih memang Pemdes tidak mengajak musyawarah dulu dengan petani hingga ya begini kejadiannya,” sambung Jamhuri dengan nada tinggi. Hal senada juga dirasakan oleh Sumar seorang tokoh masyarakat yang notabene adalah pemilik sawah di Blok Kesepat.
Usai mendengar keluhan dan informasi dari petani dan masyarakat di sekitar Blok Kesepat, bergegas awak media hendak mengkonfirmasi dengan pihak Pemdes Mekarsari, namun Kuwu Cato tidak ada di Balai Desa, hanya ditemui Dede selaku Kadus. “Pak Kuwu tidak ada di tempat,” kata Dede singkat.
Saat awak media mengkonfirmasi hal ini, Rudi Hartono selaku Ketua Investigasi DPP LSM KOREK (Komunitas Rakyat Ekonomi Kecil), mengungkapkan keprihatinannya atas permasalahan yang menimpa para petani di Desa Mekarsari.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Kalau hal ini betul terjadi, nanti kami akan buat laporan ke Inspektorat dan mengenai penggunaan keuangan desa, kalau terindikasi ada tindak korupsi atau penyalah gunaan keuangan desa, akan kami tindak lanjuti ke APH,” ungkapnya dengan nada geram.
Hal senada juga disampaikan Mano, Kadiv Investigasi LSM KPK- Nusantara Kab. Indramayu.
“Sebagai kontrol sosial, kami akan kawal terus, sampai petani mendapatkan haknya sebagai warga negara,” ujarnya.
(Biro_IM)