Metramabesnews.com, Bangka Selatan, 30 Juli 2025 – Di tengah gencarnya pencitraan digital yang dilakukan oleh Bupati Bangka Selatan melalui platform media sosial seperti TikTok, masyarakat di akar rumput justru bergulat dengan kenyataan pahit: tanah negara yang mereka garap secara sah dirampas, dan tidak ada tindakan tegas dari kepala daerah untuk melindungi hak rakyat.
Julukan “Bupati TikTok” kini merebak di kalangan masyarakat sebagai bentuk kritik keras terhadap Bupati Bangka Selatan yang dinilai lebih fokus membangun citra di ruang digital, tetapi abai terhadap krisis agraria yang nyata dan sistematis terjadi di berbagai desa.
Lahan Dirampas, Perda Diabaikan
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Di sejumlah desa seperti Desa Jeriji, Serdang, Pergam, hingga Desa Bencah, masyarakat menyaksikan maraknya praktik jual beli tanah negara tanpa dasar hukum, pembukaan lahan skala besar tanpa izin lingkungan, serta kegiatan perkebunan tanpa dokumen sah. Ironisnya, pelanggaran-pelanggaran tersebut terjadi secara terbuka dan sistematis, melibatkan oknum-oknum kuat yang memanfaatkan kelengahan atau pembiaran dari pemerintah daerah.
“Sudah terlalu lama masyarakat menjerit. Tapi Bupati tidak pernah turun tangan. Yang terlihat hanya TikTok, bukan tindakan,” kata Sulastio Setiawan, S.H., M.H., Ketua LBH Pengawal Keadilan Bangka Belitung Bersatu (PKBBB) Bangka Selatan.
LBH PKBBB menegaskan bahwa mereka telah melaporkan konflik penguasaan lahan negara ini kepada Pemerintah Kabupaten Bangka Selatan sejak bulan Februari 2025. Namun hingga kini, tidak ada satu pun langkah nyata yang dilakukan oleh Bupati maupun perangkat daerah terkait untuk menyelesaikan atau bahkan merespons laporan tersebut.
“Kami sudah mengirimkan laporan resmi sejak Februari. Tapi jangankan ditindak, dikonfirmasi pun tidak. Ini bukti bahwa pemerintah daerah tidak serius melindungi rakyat. Jangan salahkan masyarakat kalau muncul istilah ‘Bupati TikTok’, karena itulah yang terlihat: hadir di timeline, tapi absen di ladang,” ujar Sulastio.
Perda Ada, Tapi Tak Ditegakkan
Padahal, Bangka Selatan memiliki perangkat hukum daerah yang lengkap dan memadai untuk menyikapi kasus ini. Setidaknya terdapat empat Peraturan Daerah (Perda) strategis yang sudah cukup menjadi dasar penindakan:
• Perda Tata Ruang Wilayah (RTRW) – melarang pemanfaatan ruang tanpa izin;
• Perda Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B) – melindungi tanah pertanian dari pengalihfungsian;
• Perda Lingkungan Hidup – mewajibkan setiap kegiatan usaha memiliki persetujuan lingkungan;
• Perda Perkebunan – mengatur izin, pengawasan, dan sanksi terhadap kegiatan perkebunan.
Namun sayangnya, tidak satu pun dari perda-perda tersebut dijalankan dalam konteks konflik agraria yang terjadi di Desa Jeriji, Serdang, Pergam dan Desa Bencah.
“Ini bukan sekadar pelanggaran administratif. Ini kejahatan terhadap petani dan terhadap konstitusi. Bupati wajib hadir sebagai penegak hukum daerah, bukan hanya sebagai ikon digital,” kata Sulastio.
Tuntutan Tegas dari Rakyat
Masyarakat dan LBH PKBBB menuntut agar Bupati Bangka Selatan segera:
1. Menindaklanjuti laporan Februari 2025 dan membuka proses hukum terhadap penguasaan lahan negara secara ilegal;
2. Membentuk Tim Investigasi Independen untuk mengaudit seluruh penguasaan lahan di desa-desa terdampak;
3. Menghentikan kegiatan perkebunan tanpa izin dan tanpa dokumen lingkungan;
4. Mengembalikan tanah negara kepada petani penggarap yang sah secara sosial dan historis;
5. Menunjukkan keberpihakan kepada rakyat, bukan kepada pemilik modal atau elite lokal.
Jika seorang Bupati tidak berani menegakkan Perda, tidak mampu hadir dalam penderitaan rakyat, dan memilih membangun popularitas semu maka rakyat patut bertanya: untuk siapa kekasaan dijalankan? Rakyat butuh pemimpin, bukan konten kreator. (Mtmnews.Red) Narasumber Dari LBH PKBBB