Indramayu,www.mitramabesnews.com
Di tengah gemerlap pembangunan dan janji-janji kesejahteraan, masih ada sosok seperti Yana (48), warga Blok Karang Malang RT 006 RW 002, Desa Jatisawit, Kecamatan Jatibarang, Indramayu, yang hidup dalam keterbatasan ekstrem.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Bertahun-tahun tinggal di gubuk reot yang nyaris roboh, ia harus memikul beban berat sebagai tulang punggung 13 anggota keluarganya, sembari berjuang melawan kondisi tubuhnya yang sudah terserang stroke ringan.
Gubuk yang ia sebut rumah itu jauh dari kata layak. Atap bocor, dinding lapuk, dan lantai becek saat hujan turun.
“Kalau hujan besar, air masuk ke kamar-kamar. WC juga kebanjiran, jadi nggak bisa dipakai sama sekali,” tutur Yana dengan mata berkaca-kaca saat ditemui awak media Kamis 15 Mei 2025
“Mau buang air besar pun bingung, karena airnya naik ke mana-mana,” tambahnya lirih.
Lebih dari itu, yang mengejutkan, selama hampir 20 tahun terakhir, Yana mengaku belum pernah sekalipun menerima bantuan sosial dari pemerintah.
Tak ada bantuan sembako, apalagi renovasi rumah. “Dulu sempat ditawari bedah rumah, cuma katanya dikasih Rp 20 juta dan dibongkar semua.
Tapi ponakan istri nggak mau, katanya uang segitu nggak cukup. Bangunan sekarang saja bahannya mahal semua,” jelasnya.
Kenyataan pahit lain pun diungkapkannya. Menurut Yana, tak ada perhatian dari pihak pemerintah desa. “Nggak ada yang datang nengok, nggak ada bantuan juga.
Tapi kalau pas musim coblosan, pasti ada yang datang untuk data-data, tapi ya cuma itu saja,” sindirnya.
Kalimatnya menggambarkan luka yang lebih dalam dari sekadar fisik rumah yang rapuh.
Untuk menghidupi keluarganya, Yana menjual sate biawak profesi langka dan penuh risiko. Ia membuka lapak sederhana di depan rumahnya, terkadang berjualan sampai jam 3 pagi.
“Kadang nggak ada pembeli sama sekali. Tapi kalau rame, bisa dapat Rp 200 ribu. Itu dipakai buat beli beras, sisanya buat beli biawak lagi.
Kalau nggak laku, anak-anak mau makan apa? Uang buat nempur beras saja nggak punya,” ujarnya sambil menahan air mata.
Dalam kondisi sulit itu, istrinya terpaksa mencari kangkung di sawah atau saluran irigasi untuk sekadar mengganjal perut anak-anak.
“Ya makan seadanya, kadang cuma kangkung rebus. Yang penting anak-anak bisa makan, walaupun cuma itu,” katanya lirih.
Menyaksikan perjuangan Yana membuat kita merenung. Ia tak hanya menghadapi keterbatasan ekonomi, tapi juga tekanan mental sebagai kepala keluarga besar yang sakit-sakitan.
Rumah kecil itu dihuni oleh 13 orang tak ada ruang pribadi, tak ada jaminan makan tiga kali sehari, apalagi fasilitas kesehatan.
Yana tak berharap banyak, hanya ingin kehidupan yang sedikit lebih baik. “Saya cuma pengen rumah ini dibenahi, dan anak-anak bisa makan cukup. Nggak muluk-muluk. Saya udah tua, udah sakit juga,” ujarnya lirih.
Kisah Yana adalah potret nyata ketimpangan yang masih terjadi di negeri ini. Di tengah kampanye bantuan sosial yang terus digaungkan, masih ada warga seperti Yana yang bahkan tak tersentuh data.
Ia menunggu bukan janji politik, tapi uluran nyata dari pemerintah maupun dermawan yang masih punya hati.
(Jono suhendra)